Selasa, 28 April 2015

Hmm

Sebuah pelajaran untuk kita...
Terkadang setelah seseorang berjanji kepada kita, tanpa disadari kita menunggu janji itu agar dapat ditepati. Sebuah perasaan aneh tapi hal yang nyata bahwa kita menunggunya.

Minggu, 12 April 2015

Entahlah...



Ahad, 12 April 2015
Bismillah..
Ada kalanya kita tak mampu untuk jujur dengan keadaan yang sebenarnya kepada Sahabat kita karena kita takut untuk membuatnya kecewa bahkan menangis karena sedih.

Memang tidaklah salah dengan perkataan yang mengatakan bahwa “terkadang musuh itu lebih jujur dari pada sahabat!” karena musuh itu hanya mengatakan apa yang ia ingin ucapkan kepada lawannya tanpa memikirkan apa dampak yang akan terjadi setelah mengatakannya.

Namun tahukah kamu?? Sebenarnya Sahabat itu harus mengatakan setiap hal kepada sahabatnya meskipun pahit. Itulah hal yang harus diterapkan dalam persahabatan untuk menciptakan suasana indah…

Namun tak dapat terelakkan pula, dalam persahabatan jugalah kita sering menemukan seseorang menangis karena sahabatnya. Terkadang mereka menangis karena masalah sepele yang dibesar-besarkan atau adanya salah paham segingga membuat persahabatan mereka sedikit retak dan meminta sahabatnya itu untuk pergi.

Namun tahukah kalian juga, ia  memang memintanya untuk pergi namun dalam hati terdalamnya (hati kecil mereka) meminta sahabatnya untuk tetap tinggal disampingnya karena ia sebenarnya tak mampu untuk kehilangan mereka yang ia sayang. Namun, pada akhirnya juga seorang sahabat harus terpisah tapi tidak dengan perasaan karena bagaimanapun jauhnya perpiasahan ruang bagi seorang sahabat, hati mereka takkan pernah terpisah. Perpiasahan mereka juga bukan karena keinginan mereka, tapi karena mereka harus menuntut ilmu agar dapat sukses.


Miss You kalian sahabat yang selalu ada dalam suka dan dukaa..
Alumni Pondok Pesantren Yasrib Lapajung Watansoppeng Agkt. 2012/2013

Selasa, 07 April 2015

Peyakit Endemik di Indonesia (Difteri)


Tugas Kelompok
Mata Kuliah       : IKM dan Epidemiologi
Dosen Pengajar  : Masykuriah, SKM., M.Kes
DIFTERI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi
Syarat Guna Menyelesaikan Tugas
IKM dan Epidemiologi
Oleh Kelompok 20:
Kelas II D
SUMARNI (13.143)
SURIANI RAHMAN (13.146)
                                                                    

AKADEMI KEBIDANAN MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2015

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Difteria masih merupakan penyakit endemic dibanyak negara di dunia. Pada awal tahun 1980-an terjadi peningkatan insidensi  kasus difteria pada negara bekas Uni Soviet karena kekacauan program imunisasi, dan pada tahun 1990-an masih terjadi epidemic yang besar di Rusia dan Ukraina. Pada tahun 2000-an epidemic difteria masih terjadi dan menjalar ke negara-negara tetangga.
Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan penyakit yang sering menyebabkan kematian. Namun sejak mulai diadakannya program imunisasi DPT (di Indonesia pada tahun 1974), maka kasus dan kematian akibat difteria berkurang sangat banyak. Angaka mortalitas berkisar 5-10%, sedangkan angka kematian di Indonesia menurut laporan Parwati S. Basuki yang didapatkan dari rumah sakit di kota Jakarta (RSCM), Bandung (RSHS), Makasar (RSWS), Semarang (RSK), dan Palembang (RSMH) rata-rata sebesar 15%.
Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung, Makassar, Semarang, dan Palembang, Parwati S.Basuki melaporkan angka yang berbeda. Selama tahun 1991-1996, dari 473 pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27% usia kurang dari 1 tahun, 24% usia 5-9 tahun, dan 4% usia diatas 10 tahun. Berdasarkan suatu KLB difteria di kota Semarang pada tahun 2003, dilaporakan bahwa dari 33 pasien sebanyak 46% berusia 15-44 tahun serta 30% berusia 5-14 tahun. Khusus provinsi Sumatera Selatan, selama tahun 2003-2009 penemuan kasus difteri cenderung terjadi penurunan, kasus terbanyak pada tahun 2007 (12 kasus) dan terendah pada tahun 2003 (2 kasus), meskipun demikian Sumatera Selatan merupakan provinsi terbesar kedua untuk kasus difteri pada tahun 2008 (Dinkes Sumsel, 2010).


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian difteri?
2.      Apa penyebab penyakit difteri?
3.      Apa yang menjadi penularan penyakit difteri?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian difteri.
2.      Untuk mengetahui penyebab penyakit difteri.
3.      Untuk mengetahui penularan penyakit difteri.

D.    Manfaat Penulisan
1.      Agar kita mengetahui pengertian difteri.
2.      Agar kita mengetahui penyebab penyakit difteri.
3.      Agar kita mengetahui penularan penyakit difteri.
  











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Difteri
Penyakit Difteri adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan bagian atas. Penyakit ini dominan menyerang anak anak, biasanya bagian tubuh yang diserang adalah tonsil, faring hingga laring yang merupakan saluran pernafasan bagian atas.

B.     Etiologi
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin difteri ini, karena mempunyai efek patoligik menyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants dari Corynebacterium diphtheriae ini yaitu : type mitis, typeintermedius dan type gravis.
Corynebacterium diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan cara bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang virulen. Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa.

C.    Patofisiologi
1.      Prepatogenesis
Penyakit difteri tersebar diseluruh dunia, terutama di negara miskin, yang penduduknya tinggal pada tempat-tempat pemukiman yang rapat, higiene dan sanitasi jelek, dan fasilitas kesehatan yang kurang. Orang-orang yang beresiko tinggi terkena penyakit difteri adalah : 1) tidak dapat imunisasi atau imunisasinya tidak lengkap; 2) immonucopromised, seperti sosial ekonomi yang rendah, populasi anak jalanan, pemakai obat imunosupresif, penderita HIV, diabetis militus, pecandu alkohol dan narkotika; 3) tinggal pada tempat-tempat yang padat seperti rumsh tahanan (penjara), rumah penampungan; 4) Sedang melakukan perjalanan (travel) ke daerah-daerah yang sebelumnya merupakan endemik difteri.
2.      Patogenesis
a)      Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital dan biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan masa penularan beragam, dengan penderita bisa menularkan antara dua minggu atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari empat minggu sejak masa inkubasi. Sedangkan stadium karier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan.
b)      Tahap Penyakit Dini
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin.Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.
Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
c)      Tahap Penyakit Lanjut
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
Pada keadaan lebih lanjut, toksin yang diproduksi oleh basil ini semakin meningkat, menyebabkan daerah nekrosis semakin bertambah luas dan bertambah dalam, sehingga menimbulakan terbentuknya fibrous exudate (membran palsu) yang terdiri atas jaringan nekrotik, fibrin, sel epitel, sel leukosit, dan eritrosit, berwarna abu-abu sampai hitam. Membran ini sukar terkelupas, kalau dipaksa lepas akan menimbulkan perdarahan. Membran ini terbentuk pada tonsil.faring,laring, dan pada keadaan berat bisa mengelupas sampain ke trakea, kadang-kadang bronkus, kemudian diikuti edema soft tissue di bawah mukosanya. Keadaan ini dapat menimbulkan obstruksi saluran pernafasan sehingga perlu tindakan segera.
3.      Pasca Patogenesis
Akhir dari penyakit berbeda-beda tergantung jenis difterinya. Pada Difteri tonsil dan faring, di kasus ringan membran akan menghilang antara 7-10 hari dan penderita tampak sehat ; pada kasus sangat berat ditandai dengan gejala-gejala toksemia berupa lemah, pucat, nadi cepat dan kecil, stupor, koma dan meninggal dalam 6-10 hari; pada kasus sedang,penyembuhannya lambat disertai komplikasi seperti miokarditis dan neuritis.
Pada Difteri Laring kasus ringan dengan diberikanantitoksin, gejala obstruksi akan hilang dan membran hilang dalam 6-10 hari. Pada kasus berat terjadi penyumbatan yang diikuti dengan anoksemia yang ditandai gelisah, sianosis, lemah, koma, dan meninggal.dapat menimbulkan sumbatan aliran pernafasan sehingga dapat menyebabkan kematian.

D.    Tanda dan Gejala
1.      Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,90 C.
2.      Sakit saat menelan.
3.      Pembengkakan pada tenggorokan
4.      Mual, muntah, dan sakit kepala.
5.      Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu-abuan kotor.
6.      Kaku leher
Tidak semua tanda dan gejala ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium. Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak  jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi.

E.     Epidemiologi
1.      Person (Orang)
Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang anak-anak yang belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda.
2.      Place (Tempat)
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
3.      Time (Waktu)
Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa mengenal waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh dan tubuh kita tidak mempunyai system kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman akan berkembang biak dan berpotensi untuk terjangkit penyakit difteri.
                



F.     Penanganan
1.      Pencegahan
a)      Imunisasi
Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria, pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada anak-anak usia sekolah dasar.
b)      Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi Corynebacterium diphtheriae.
c)      Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita karier pernah mendapat imunisasi), maka harus diiakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan Corynebacterium diphtheriae, penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.
2.      Pengobatan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
a)      Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
b)      Pengobatan Khusus 
1)      Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS) 
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu. 
2)      Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.
3)      Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala.
c)      Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
d)     Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.
e)      Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.






















BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
1.      Penyakit Difteri adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan bagian atas. Penyakit ini dominan menyerang anak anak, biasanya bagian tubuh yang diserang adalah tonsil, faring hingga laring yang merupakan saluran pernafasan bagian atas.
2.      Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin.
3.      Cara penularan penyakit difteri yaitu Person (Orang), Place (Tempat), dan Time (Waktu)

B.     Saran
Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan kepada petugas kesehatan untuk memberikan imunisas kepada anak-anak yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.








DAFTAR PUSTAKA

Dede, 2012, “Makalah Wabah Difteri, Epidemiologi” http://dedeyiyinzulhijjah. blogspot.com/2012/06/makalah-wabah-difteri-epidemiologi. html diakses tanggal 24 Februari 2015, 20.50 Wita
Jowman, 2014, “Pengertian Penyakit Difteri Paling Membahayakan” http://www.g-excess.com/pengertian-penyakit-difteri-merupakan-penyakit-paling-membahayakan.html diakses tanggal 24 Februari 2015, 21.25 Wita
Takwa Andi, 2011, “Riwayat Alamiah Penyakithttp://andhietakwa.blogspot.com/ 2011/05/riwayat-alamiah-penyakit-difteri.html diakses tanggal 24 Februari, 2015, 21.10 Wita